Jumat, 14 November 2008

biografi

Aldika Restu Pramuli


ALhamdulillah Di hari merdeKa, adalah kepanjangan dari nama perempuan yang lahir lahir tepat di saat bangsa besar ini merayakan hari besarnya yang ke 42 tahun, 17 Agustus 1987. Aldika Restu Pramuli besar di sebuah kota kecil tepat di ujung barat Bogor, Jasinga. Ia dibesarkan oleh dua orang pahlawan penuh jasa (guru) yang tak lain adalah orang tua yang disayanginya, Edi Mulyadi dan Eri Herawati.
Perempuan yang kini tengah duduk di bangku kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) program studi bahasa dan sastra Indonesia ini mengenyam pendidikan dasar kampung kecilnya. TK Aisyiyah Bustanul Athfal, SD Negeri 2 Jasinga, SMP Negeri 2 Jasinga, dan SMA Negeri 1 Jasinga.
Putri pertama dari empat bersaudara ini senang menulis sejak kecil. Mulai dari membuat cerpen, puisi, hingga tulisan-tulisan motivator bagi rekan-rekannya. Pekerjaan pertama selama hidupnya adalah, “jasa perangkai kata”. Dari “jasa perangkai kata” itu, ia memeroleh imbalan berupa jajanan, mulai dari mie ayam, bakso, hingga cilok, dari costumernya, yang tak lain adalah sahabat-sahabatnya sendiri. Hingga kini, ia masih gemar menulis puisi, cerpen, naskah drama, naskah film, dan berharap suatu saat tulisannya akan bermanfaat.
Hobi yang dimilikinya, sebenarnya adalah hobi turunan dari sang Ayah, “Angkag Ingkig”, tak pernah mau diam. Mulai dari Pramuka, OSIS, Paskibra, Mading, serta kegiatan lainnya selalu diikutinya. Kecintaan akan berorganisasi itulah, yang kini membuatnya tetap bertahan sebagai pemimpin redaksi ISOLA POS, surat kabar mahasiswa UPI. Karena hidup tanpa beraktifitas adalah hidup yang mati.
Atas segala aktivitasnya itulah, sejak kecil prestasinya berjibun, namun tak perlu diungkap di sini. Cukup ini saja, siswa SMA berprestasi I tk. Kab. Bogor, Juara I baca Puisi siswa SMP tk. Kab. Bogor, Juara 2 Lomba Presenter Bahasa Sunda tk. Mahasiswa se-Bandung, dll.
Kini, seorang Aldika tengah memersiapkan dirinya untuk bisa mewujudkan mimpi kecilnya, menjadi seorang pembaca berita. Mungkinkah? “Tak pernah ada yang tak mungkin,” itulah yang senantiasa tertanam di benak perempuan ini. Karena tak ada yang tak mungkin, maka ketakutan dan diam adalah dua kebodohan yang tak seharusnya dilakukan.

“Langkah pertama ingatlah Allah, langkah kedua ingatlah Ibu dan Bapak, langkah ketiga berkaryalah,” pesan ibuku suatu hari.

Tidak ada komentar: